Munawar Saman Makyanie
"Ahmad Soekarno, Ahmad Soekarno!", begitu teriakan sejumlah orang Mesir ketika penulis sengaja naik metro anfaq (subway, kereta bawah tanah) menuju Bundaran Tahrir untuk shalat Jumat di Masjid Omar Makram di pusat kota Kairo, Jumat (9/11).
Rupanya teriakan itu bukan karena wajah penulis mirip tokoh kaliber bersapa Bung Karno, tapi ternyata peci hitam khas Melayu bertengger di kepala ini sehingga mencuri perhatian.
Seorang pria berusia sekitar 70 tahun menyapa penulis di metro Anfaq dengan nada sok tahu, "Kamu dari daerah mana di Indonesia?".
Penulis balik bertanya, "Lho, dari mana bapak tahu saya orang Indonesia?". Dengan senyum hangat ia berucap, "itu tuh", sambil menunjuk peci di kepala penulis.
Si bapak yang mengaku bernama Abu Shawki itu kemudian bercerita panjang lebar mengenai gegap gempitanya sambutan rakyat Mesir setiap kali Bung Karno berkunjung ke negeri Piramida itu.
Rupanya ada udang di balik batu, Abu Shawki ternyata berhasrat miliki peci ini, "Boleh ya berikan saya kenang-kenangan pecimu, hehehe".
Maklum, peci hitam jarang dipakai warga Melayu di negeri ini selain presiden-presiden Indonesia dan segelintir kalangan pejabat Indonesia yang berkunjung ke Mesir.
Memang para pejabat Melayu, misalnya dari Malaysia atau Brunei Darussalam yang berkunjung ke Mesir, juga memaki peci, tapi sudah dimodifikasi, bukan lagi berwana hitam pekat polos seperti peci khas Indonesia.
Seorang teman wartawan Mesir yang penulis berikan suvenir berupa sebuah peci hitam, mengaku selalu diteriaki Ahmad Soekarno ketika ia memakai peci tersebut.
"Saya pernah pakai peci saat menonton film di bioskop di Kairo, saya malah menjadi perhatian dan beberapa orang meneriaki saya dengan menyebut Soekarno", ujarnya.
Saking berkesannya, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser dan Wakil Presidennya, Anwar Saddat, bahkan pernah bergantian memakai peci Bung Karno untuk foto bersama Sang Proklamator saat lawatannya ke Kairo.
Ketika meliput berita revolusi Mesir di Bundaran Tahrir pada awal tahun 2011, penulis dengan bangga memaki peci hitam di tengah ribuan massa yang berupaya menumbangkan rezim pimpinan Presiden Hosni Mubarak.
Namun, seorang teman wartawan Mesir membisiki penulis agar menanggalkan peci hitam, karena ia khawatir terbidik sniper, penembak jitu dari aparat pro rezim yang berusaha menumpas pemberontakan.
"Saya sarankan peci hitammu tanggalkan saja, karena siapa tahu ada sniper pro rezim yang membidik warga asing karena mereka mencurigai Anda sebagai pendukung pemberontakan anti-rezim," bisiknya.
Jejak Bung Karno
Di antara presiden-presiden Indonesia dari Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Bung Karno paling populer di kalangan rakyat Mesir.
Maklum, sepanjang masa baktinya sebagai Presiden, Bung Karno tercatat paling banyak berkunjung ke Mesir dibanding para presiden berikutnya.
Menurut buku "Potret Hubungan Indonesia-Mesir: Jauh di Mata Dekat di Hati" (2009), Bung Karno melawat ke Mesir sebanyak enam kali, yaitu tahun 1955, 1958, 1960, 1961, 1964, dan 1965.
Sementara, Soeharto hanya dua kali melakukan kunjungan kenegaraan ke Mesir pada 1977 dan 1998.
Adapun Presiden Bacharuddin Jusuf Habibi tidak sempat berkunjung ke Mesir, tapi setahun menjelang dilantik jadi presiden, pakar aeronautika itu melakukan lawatan dalam kapasitas sebagai menteri riset dan teknologi pada 1997, menyusul lawatannya serupa pada 1995.
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dua kali ke Mesir pada 2000 dan 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri satu kali pada 2002.
Presiden SBY satu kali berkunjung ke Mesir pada 2004 saat menghadiri upacara penghormatan terakhir terhadap mendiang Presiden Palestina Yasser Arafat yang jenazahnya disemayamkan di Mesir sebelum dimakamkan di tanah kelahirannya, Palestina.
Setiap kunjungannya ke Mesir, Bung Karno senantiasa disambut gegap gempita oleh masyarakat setempat di sepanjang jalan dari bandara hingga Istana El Qobba, tempatnya menginap, sambil melambaikan bendera mini Indonesia dan Mesir.
Mohamed Gamal, purnawirawan perwira angkatan laut Mesir mengenang bahwa ia merasa takjub dengan kebesaran Bung Karno.
"Saya melihat banyak orang di jalanan melambaikan bendera mini Indonesia dan Mesir ketika menyambut kunjungan Presiden Soekarno, saya saat itu saya masih remaja dan bersemangat juga menyambutnya," kenang Gamal yang kini aktif mengajar "khat Arabi" (lukisan Arab) di Masjid Rabi`ah Adawiyah itu.
Sambutan meriah itu juga terekam dalam video dan foto-foto hitam putih yang hingga kini masih tersimpan rapi baik di Perpustakaan Nasional Mesir maupun di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kairo.
Pemimpin flamboyan itu dikenal amat gandrung dengan tari perut yang dipersembahkan gadis-gadis cantik negeri warisan Ratu Cleopatra tersebut.
Kabar burung yang beredar di kalangan masyarakat setempat, penari kesohor Mesir, Nagwa Fouad, kini berusia 73 tahun, menjadi langganan favorit untuk pertunjukan kesenian di hadapan sang tamu agung, Bung Karno.
Jejak lainnya yang membuat pemimpin legendaris Nusantara tersebut begitu terkesan di mata masyarakat Mesir, yaitu nama besar Soekarno masuk dalam kurikulum pelajaran sejarah di sekolah setempat sebagai sahabat kental pemimpin legendaris Mesir, Gamal Abdel Nasser dalam berjuang menumpas imperialisme.
Nadia El-Bahr, mahasiswi Universitas Kairo, misalnya menuturkan bahwa ia mengenal Soekarno dari buku-buku sejarah yang diajarkan sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama.
"Soekarno adalah sahabat karib almarhum Presiden Gamal Abdel Nasser. Mereka berdua merupakan tokoh-tokoh puncak pendiri Gerakan Non-Blok," katanya.
Jejak lainnya yang terkesan adalah Mangga Soekarno. Konon Bung Karno yang memperkenalkan mangga dari Indonesia untuk dikembangkan di negeri Lembah Nil itu sejak tahun 1950-an.
Makanya, di sela lawatannya ke Mesir, Presiden Megawati pada 2002 menyempatkan waktunya untuk mengunjungi pekebunan mangga di kawasan Delta Nil, Provinsi Alexandria, 220 km utara Kairo.
Namun, jejak abadi yang paling dikenang adalah diadopsinya nama Bung Karno sebagai salah satu nama jalan di Kairo, tepatnya di Distrik Agouza, sisi barat Sungai Nil.
Alhasil, di balik peci hitam dan jejak-jejak Bung Karno itu menyimpan spirit persahabatan kedua bangsa yang kendati jauh di mata, tapi dekat di hati. (M043/Z002)
Soekarno adalah sahabat karib almarhum Presiden Gamal Abdel Nasser. Mereka berdua merupakan tokoh-tokoh puncak pendiri Gerakan Non-Blok."
"Ahmad Soekarno, Ahmad Soekarno!", begitu teriakan sejumlah orang Mesir ketika penulis sengaja naik metro anfaq (subway, kereta bawah tanah) menuju Bundaran Tahrir untuk shalat Jumat di Masjid Omar Makram di pusat kota Kairo, Jumat (9/11).
Rupanya teriakan itu bukan karena wajah penulis mirip tokoh kaliber bersapa Bung Karno, tapi ternyata peci hitam khas Melayu bertengger di kepala ini sehingga mencuri perhatian.
Seorang pria berusia sekitar 70 tahun menyapa penulis di metro Anfaq dengan nada sok tahu, "Kamu dari daerah mana di Indonesia?".
Penulis balik bertanya, "Lho, dari mana bapak tahu saya orang Indonesia?". Dengan senyum hangat ia berucap, "itu tuh", sambil menunjuk peci di kepala penulis.
Si bapak yang mengaku bernama Abu Shawki itu kemudian bercerita panjang lebar mengenai gegap gempitanya sambutan rakyat Mesir setiap kali Bung Karno berkunjung ke negeri Piramida itu.
Rupanya ada udang di balik batu, Abu Shawki ternyata berhasrat miliki peci ini, "Boleh ya berikan saya kenang-kenangan pecimu, hehehe".
Maklum, peci hitam jarang dipakai warga Melayu di negeri ini selain presiden-presiden Indonesia dan segelintir kalangan pejabat Indonesia yang berkunjung ke Mesir.
Memang para pejabat Melayu, misalnya dari Malaysia atau Brunei Darussalam yang berkunjung ke Mesir, juga memaki peci, tapi sudah dimodifikasi, bukan lagi berwana hitam pekat polos seperti peci khas Indonesia.
Seorang teman wartawan Mesir yang penulis berikan suvenir berupa sebuah peci hitam, mengaku selalu diteriaki Ahmad Soekarno ketika ia memakai peci tersebut.
"Saya pernah pakai peci saat menonton film di bioskop di Kairo, saya malah menjadi perhatian dan beberapa orang meneriaki saya dengan menyebut Soekarno", ujarnya.
Saking berkesannya, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser dan Wakil Presidennya, Anwar Saddat, bahkan pernah bergantian memakai peci Bung Karno untuk foto bersama Sang Proklamator saat lawatannya ke Kairo.
Ketika meliput berita revolusi Mesir di Bundaran Tahrir pada awal tahun 2011, penulis dengan bangga memaki peci hitam di tengah ribuan massa yang berupaya menumbangkan rezim pimpinan Presiden Hosni Mubarak.
Namun, seorang teman wartawan Mesir membisiki penulis agar menanggalkan peci hitam, karena ia khawatir terbidik sniper, penembak jitu dari aparat pro rezim yang berusaha menumpas pemberontakan.
"Saya sarankan peci hitammu tanggalkan saja, karena siapa tahu ada sniper pro rezim yang membidik warga asing karena mereka mencurigai Anda sebagai pendukung pemberontakan anti-rezim," bisiknya.
Jejak Bung Karno
Di antara presiden-presiden Indonesia dari Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Bung Karno paling populer di kalangan rakyat Mesir.
Maklum, sepanjang masa baktinya sebagai Presiden, Bung Karno tercatat paling banyak berkunjung ke Mesir dibanding para presiden berikutnya.
Menurut buku "Potret Hubungan Indonesia-Mesir: Jauh di Mata Dekat di Hati" (2009), Bung Karno melawat ke Mesir sebanyak enam kali, yaitu tahun 1955, 1958, 1960, 1961, 1964, dan 1965.
Sementara, Soeharto hanya dua kali melakukan kunjungan kenegaraan ke Mesir pada 1977 dan 1998.
Adapun Presiden Bacharuddin Jusuf Habibi tidak sempat berkunjung ke Mesir, tapi setahun menjelang dilantik jadi presiden, pakar aeronautika itu melakukan lawatan dalam kapasitas sebagai menteri riset dan teknologi pada 1997, menyusul lawatannya serupa pada 1995.
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dua kali ke Mesir pada 2000 dan 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri satu kali pada 2002.
Presiden SBY satu kali berkunjung ke Mesir pada 2004 saat menghadiri upacara penghormatan terakhir terhadap mendiang Presiden Palestina Yasser Arafat yang jenazahnya disemayamkan di Mesir sebelum dimakamkan di tanah kelahirannya, Palestina.
Setiap kunjungannya ke Mesir, Bung Karno senantiasa disambut gegap gempita oleh masyarakat setempat di sepanjang jalan dari bandara hingga Istana El Qobba, tempatnya menginap, sambil melambaikan bendera mini Indonesia dan Mesir.
Mohamed Gamal, purnawirawan perwira angkatan laut Mesir mengenang bahwa ia merasa takjub dengan kebesaran Bung Karno.
"Saya melihat banyak orang di jalanan melambaikan bendera mini Indonesia dan Mesir ketika menyambut kunjungan Presiden Soekarno, saya saat itu saya masih remaja dan bersemangat juga menyambutnya," kenang Gamal yang kini aktif mengajar "khat Arabi" (lukisan Arab) di Masjid Rabi`ah Adawiyah itu.
Sambutan meriah itu juga terekam dalam video dan foto-foto hitam putih yang hingga kini masih tersimpan rapi baik di Perpustakaan Nasional Mesir maupun di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kairo.
Pemimpin flamboyan itu dikenal amat gandrung dengan tari perut yang dipersembahkan gadis-gadis cantik negeri warisan Ratu Cleopatra tersebut.
Kabar burung yang beredar di kalangan masyarakat setempat, penari kesohor Mesir, Nagwa Fouad, kini berusia 73 tahun, menjadi langganan favorit untuk pertunjukan kesenian di hadapan sang tamu agung, Bung Karno.
Jejak lainnya yang membuat pemimpin legendaris Nusantara tersebut begitu terkesan di mata masyarakat Mesir, yaitu nama besar Soekarno masuk dalam kurikulum pelajaran sejarah di sekolah setempat sebagai sahabat kental pemimpin legendaris Mesir, Gamal Abdel Nasser dalam berjuang menumpas imperialisme.
Nadia El-Bahr, mahasiswi Universitas Kairo, misalnya menuturkan bahwa ia mengenal Soekarno dari buku-buku sejarah yang diajarkan sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama.
"Soekarno adalah sahabat karib almarhum Presiden Gamal Abdel Nasser. Mereka berdua merupakan tokoh-tokoh puncak pendiri Gerakan Non-Blok," katanya.
Jejak lainnya yang terkesan adalah Mangga Soekarno. Konon Bung Karno yang memperkenalkan mangga dari Indonesia untuk dikembangkan di negeri Lembah Nil itu sejak tahun 1950-an.
Makanya, di sela lawatannya ke Mesir, Presiden Megawati pada 2002 menyempatkan waktunya untuk mengunjungi pekebunan mangga di kawasan Delta Nil, Provinsi Alexandria, 220 km utara Kairo.
Namun, jejak abadi yang paling dikenang adalah diadopsinya nama Bung Karno sebagai salah satu nama jalan di Kairo, tepatnya di Distrik Agouza, sisi barat Sungai Nil.
Alhasil, di balik peci hitam dan jejak-jejak Bung Karno itu menyimpan spirit persahabatan kedua bangsa yang kendati jauh di mata, tapi dekat di hati. (M043/Z002)
Editor: B Kunto Wibisono
Sumber:http://www.antaranews.com/berita/343381/peci-bung-karno-berkesan-di-mesir