TEMPO.CO , Malang - Keberadaan bunga edelweis di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) terancam punah.
Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru memperkirakan bungka khas dari dataran tinggi itu akan punah dalam tempo lima hingga sepuluh tahun mendatang.
"Perburuan edelweis oleh manusia untuk diperjualbelikan cukup banyak terjadi," kata Kepala Balai Besar Taman Nasional Bromo, Ayu Dewi Utari kepada Tempo, Kamis 1 November 2012.
Menurut dia, banyak pengunjung yang tak mempunyai kesadaran untuk tetap menikmati keindahan edelweis tanpa harus memetiknya. Selain itu, lanjut Ayu, faktor anomali cuaca juga dapat membuat tanaman dengan nama Latin Anaphalis Javanica itu terancam punah.
Soal rendahnya kesadaran pengunjung taman nasional Bromo dalam melestarikan edelweis, Ayu mengatakan, mereka umumnya memetik bunga itu untuk disimpan sebagai kebanggaan, ditaruh di kamar atau ruang tamu sebagai hiasan, atau dijadikan oleh-oleh bagi orang terkasih.
Kebiasaan ini dipicu anggapan bahwa edelweis perlambang keabadian, ketulusan cinta, dan pengorbanan karena hanya tumbuh di ketinggian pucuk atau lereng gunung.
Edelweis tumbuh liar merata di seluruh kawasan taman nasional Bromo Tengger Semerus seluas 50.276 hektare. Bila disatukan, sebaran tanaman edelweis ditaksir hanya seluas 1.000 hektare.
Pengawasan terhadap keberadaan flora dan fauna di taman nasional ini rutin dilakukan dengan patroli. Pengelola juga tak bosan-bosannya mengingatkan pengunjung untuk tidak mengambil dan membawa pulang apapun dari dalam taman nasional tanpa izin.
"Namun tetap saja banyak pengunjung yang bandel. Ada yang mengaku pecinta alam, tapi ulahnya justru merusak alam," ujar Ayu.
Untuk menyelamatkan tanaman edelweis dari ancaman kepunahan sekaligus supaya pengunjung dapat menikmati keindahan bunga itu, pengelola taman nasional berencana membuat taman konservasi edelweis seluas 1 hektare di wilayah Ranu Regulo, yang berjarak sekitar 300 meter dari Pos Ranu Pani.
Taman konservasi yang dibangun bersama Japan International Cooperation Agency (JICA) itu rencananya akan membudidayakan seratusan pohon edelweis untuk tahap awal. Sayangnya, hingga kini hanya 5 pohon yang bertahan hidup, selebihnya sekarat dan mati.
Ayu mengatakan cuaca ekstrem sepanjang Juni hingga Agustus membuat temperatur udara di taman nasional bisa mencapai minus tiga derajat Celsius pada malam hari. Akibatnya, muncul bunga-bunga es di pucuk-pucuk pohon, ilalang, dan rerumputan yang bentuknya mirip salju tipis. "Tanaman edelweis sulit tumbuh di saat suhu ekstrem dingin," ujarnya. "Di musim kering edelweis mati suri dan hidup lagi di musim hujan."
ABDI PURMONO
0 komentar:
Posting Komentar