Dewasa ini masyarakat secara umum memahami istilah Sunda identik dengan provinsi Jawa Barat. Jawa Barat telah menjadi anggapan umum dan tercatat dalam banyak literatur berasal dari orang Belanda sebagai terjemahan dari istilah West Java. Istilah West Java tampaknya muncul pada abad ke-19 M, ketika Pulau Jawa telah dikuasai sepenuhnya (?) oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan dirasakan penting untuk melakukan pembagian wilayah atas Pulau Jawa demi kepentingan administrasi pemerintahan dan militer. Berdasarkan pertimbangan militer, sehubungan dengan terjadinya Perang Diponegoro (1825-1830), penguasa Hindia Belanda membagi Pulau Jawa menjadi tiga daerah militer, yaitu Daerah Militer I West Java, Daerah Militer II Midden Java, dan Daerah Militer III Oost Java (S.Ekadjati, E, 2009).
Maka ketika sekarang istilah Sunda menjadi nama satu etnik atau suku bangsa yang mendiami wilayah pulau Jawa bagian barat berdampak pada kedudukan Sunda pada ruang lingkup yang sangat sempit. Sangat sedikit masyarakat yang memahami bagaimana ajaran Sunda Besar, yang dimulai dari misi Salaka Domas atau Sunda Wiwitan (adab Sunda), dengan paradigma kebangsaan Mula Sarwa Stiwa Danikaya pada tahun 78 M (De Graaf, H.J. , 1949).
Kujang menjadi pusaka atau gagaman sebagai wujud dari terbentuknya sistem ketatanegaraan purba, yaitu dimulainya pemerintahan di Jawa Dwipa (nama pulau Jawa di masa lalu/Purba). Kujang berasal dari kata Ku Dyah Hyang- Ku Dia Hyang-Kudi Hyang, yang menyiratkan Jawa Dwipa berkedudukan sebagai Ibu Pertiwi (Ku Jawa Hyang) dan pulau-pulau lainnya di luar pulau Jawa sebagai Nusa Persada. Secara totalitas wilayah teritorial negara purba menyiratkan bahwa Nusa Persada ada di pangkuan Ibu Pertiwi atau disebut dengan istilah ”Papat kalima pancer”, yaitu: Jawa Dwipa, Swarna Dwipa, Simhala Dwipa, Waruna Dwipa, dan Parahyangan sebagai Pancer (wilayah inti). Nusa Persada dalam sistematika negara purba berkarakteristik Kadatuan (Kadaton) atau Ka-Resi-an, dan para pemimpinnya bergelar Datuk atau Resi, sementara Jawa Dwipa menjadi Pancer atau Puser, disebut juga Ka-Ratu-an (Karaton) dan para pemimpinnya bergelar Ratu.
Kudi dalam arti Kudia atau Ku Anjeun, memberi pengertian “Titah” atau perintah dari Kahyangan kepada manusia atau Manu. Kudi dianggap mempunyai bentuk menyerupai kepala burung, hal ini memberi makna bahwa manusia sebagai bentuk perwakilan Hyang Tunggal atau Tuhan yang senantiasa harus meningkatkan bakti dan bukti kepada negara dan Tuhan Yang Maha Kuasa di marcapada atau buwana panca tengah. Bentuk burung menyiratkan sebagi arah menuju ke atas atau pencapaian tempat yanh tinggi (pencerahan) Aksara pembentuk kata kudi : Kudi = Ku Diya.Dalam bahasa Sunda Purba kata “Ku Dia” bermakna “anjeun” , yangmengisyaratkan sebuah perintah atau titah dari “Hyang” kepada “Wujud Hyang”, atau dari “Dat” kepada “Sifat” atau dari Sang Maha Pencipta kepada manusia sebagai perintah untuk memimpin dunia. Kudi merupakan sebuah perwujudan dari alam Kahyangan, sebagai bentuk implementasi dari jagat semesta. Pemahaman dari kalimat ini untuk mengenal “Hyang” atau Yang Maha Kuasa, adalah dengan cara melihat wujud kahyangan, yang berarti melihat jagat semesta. Kujang berasal dari kata Ku Jawa Hyang atau Ku Dyah Hyang, dengan tahapan : Kujang asal kata dari Kudi Hyang atau Ku Dyah Hyang. Hal tersebut sebagai wujud dari dimulainnya sistem ketatanegaraan di wilayah Nusa Kendeng atau Dwipantara. Pemerintahan negara di wilayah Nusa Kendeng atau Jawa Dwipa, diawali oleh Prabu Sindula bertempat di geger Rawa Manuk, dengan tahapan proses : manik - manuk - menak. Makna manuk dalam kata Rawa Manuk, bukan menunjuk pada arti binatang bersayap atau burung, akan tetapi bermakna “manusa “. Pada masa sekarang fenomena itu lebih dikenal dengan sebutan ”Kabuyutaan”, yang bermakna eksistensi kenegaraan atau kedaulatan negara purba, yang berfungsi sebagai lambang negara.
By: Aries Kurniawan
Kujang menjadi pusaka atau gagaman sebagai wujud dari terbentuknya sistem ketatanegaraan purba, yaitu dimulainya pemerintahan di Jawa Dwipa (nama pulau Jawa di masa lalu/Purba). Kujang berasal dari kata Ku Dyah Hyang- Ku Dia Hyang-Kudi Hyang, yang menyiratkan Jawa Dwipa berkedudukan sebagai Ibu Pertiwi (Ku Jawa Hyang) dan pulau-pulau lainnya di luar pulau Jawa sebagai Nusa Persada. Secara totalitas wilayah teritorial negara purba menyiratkan bahwa Nusa Persada ada di pangkuan Ibu Pertiwi atau disebut dengan istilah ”Papat kalima pancer”, yaitu: Jawa Dwipa, Swarna Dwipa, Simhala Dwipa, Waruna Dwipa, dan Parahyangan sebagai Pancer (wilayah inti). Nusa Persada dalam sistematika negara purba berkarakteristik Kadatuan (Kadaton) atau Ka-Resi-an, dan para pemimpinnya bergelar Datuk atau Resi, sementara Jawa Dwipa menjadi Pancer atau Puser, disebut juga Ka-Ratu-an (Karaton) dan para pemimpinnya bergelar Ratu.
Kudi dalam arti Kudia atau Ku Anjeun, memberi pengertian “Titah” atau perintah dari Kahyangan kepada manusia atau Manu. Kudi dianggap mempunyai bentuk menyerupai kepala burung, hal ini memberi makna bahwa manusia sebagai bentuk perwakilan Hyang Tunggal atau Tuhan yang senantiasa harus meningkatkan bakti dan bukti kepada negara dan Tuhan Yang Maha Kuasa di marcapada atau buwana panca tengah. Bentuk burung menyiratkan sebagi arah menuju ke atas atau pencapaian tempat yanh tinggi (pencerahan) Aksara pembentuk kata kudi : Kudi = Ku Diya.Dalam bahasa Sunda Purba kata “Ku Dia” bermakna “anjeun” , yangmengisyaratkan sebuah perintah atau titah dari “Hyang” kepada “Wujud Hyang”, atau dari “Dat” kepada “Sifat” atau dari Sang Maha Pencipta kepada manusia sebagai perintah untuk memimpin dunia. Kudi merupakan sebuah perwujudan dari alam Kahyangan, sebagai bentuk implementasi dari jagat semesta. Pemahaman dari kalimat ini untuk mengenal “Hyang” atau Yang Maha Kuasa, adalah dengan cara melihat wujud kahyangan, yang berarti melihat jagat semesta. Kujang berasal dari kata Ku Jawa Hyang atau Ku Dyah Hyang, dengan tahapan : Kujang asal kata dari Kudi Hyang atau Ku Dyah Hyang. Hal tersebut sebagai wujud dari dimulainnya sistem ketatanegaraan di wilayah Nusa Kendeng atau Dwipantara. Pemerintahan negara di wilayah Nusa Kendeng atau Jawa Dwipa, diawali oleh Prabu Sindula bertempat di geger Rawa Manuk, dengan tahapan proses : manik - manuk - menak. Makna manuk dalam kata Rawa Manuk, bukan menunjuk pada arti binatang bersayap atau burung, akan tetapi bermakna “manusa “. Pada masa sekarang fenomena itu lebih dikenal dengan sebutan ”Kabuyutaan”, yang bermakna eksistensi kenegaraan atau kedaulatan negara purba, yang berfungsi sebagai lambang negara.
By: Aries Kurniawan
Sumber:http://lakpad.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar